Rabu, 14 September 2016

EKONOMI DALAM PERSPEKTIF 4 IMAM MAZHAB (Kajian Komparatif Atas Pemikiran 4 Imam Mazhab)



 
Source : www.google.co.id


A. Riwayat Hidup 4 Imam Mazhab
1. Riwayat Hidup Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji. Mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya (Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang-orang yang utama di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak lama kemudian ayahnya meninggal dunia.
Imam Hanafi adalah salah satu sosok hamba Allah yang sangat cerdas dan brilian dalam menangkap ilmu-ilmu agama. Pada masa remajanya, dengan segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaan kepada ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Disamping kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir, hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama-ulama di zamannya, seperti Imam hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakan kepadanya untuk memberi fatwa dan pelajaran fiqh kepada murid-muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh Imam Syafi’i, ”Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh“. Karena kepedulian yang sangat besar terhadap hukum Islam, Imam Hanafi kemudian mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk bermusyawarah tentang hukum-hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam bentuk tulisan sebagai perundang-undangan dan beliau sebagai ketua lembaga tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83 ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya mengenai urusan dunia. Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah), shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.[1] Beliau wafat Pada Awal bulan Dzul-Qa’idah 767 M/321 H.[2]
Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istimbath) adalah: [3]
a. Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum
b. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al- Qur’an
c. Fatwa sahabat (Aqwal as-Sahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbabun nuzul-nya serta asbabul wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat
d. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah
e. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang menyalahinya karena tidak tepatnya Qiyas atau karena Qiyas tersebut berlawanan dengan Nash
f. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu
g. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak ada nashnya dalam Al-Qur’an, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.[4]
2. Riwayat Hidup Imam Malik
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi, lahir di Madinah pada tahun 713 M/93 H.[5] Imam Malik berasal dari keluarga Arab terhormat dan berstatus sosial tinggi, baik sebelum datangnya Islam maupun sesudahnya. Leluhurnya berasal dari Yaman, namun setelah nenek moyangnya menganut Islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya (Abu Amir) adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun ke dua Hijriah.
Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya. Ia juga pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al-Anshari, Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far as-Shadiq. Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam dunia pendidikan, tidak kurang dari empat Khalifah, mulai dari al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid dan al-Makmun pernah menjadi muridnya. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.[6]
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan Mazhab fiqhnya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki. Mazhab ini sangat mengutamakan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Sumber hukum yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah, Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan al-Maslaha al-Mursal kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu. Ia wafat pada 10 Rabiulawal 796 M/179 H.[7]
Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al-Muwatha’, yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan. Kitab ini ditulis pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) dan selesai di masa khalifah al-Mahdi (775-785 M). Semula kitab ini memuat 10 ribu hadis namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Kitab tersebut diriwayatkan lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya berbeda-beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20 buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al-Laitsi al-Andalusi al- Mashmudi. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku al-Mudawwanah al-Kubra.[8]
3. Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150 Hijriah (767 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya. Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam Al-Qur’an dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam dihafalnya di luar kepala. Kecerdasannya membuat ia dalam usia sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut. Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Selain kedua sumber (Al-Qur’an dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam.[9] beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H/820 M.[10]
Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik dalam Ushul maupun Furu’. Di antara karangannya adalah “Ar Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Karyanya yang lain adalah As-Sunan al-Ma’tsurah, al-Fiqh al-Akbar, Al-Musnad, ikhtilaf al-hadits dan Jima’ul Ilmi.[11]
4. Riwayat Hidup Imam Hambali
Imam Hambali bernama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Hambal, lahir di Baghdad pada tahun 161 H/780 M dan wafat pada tahun 236H/855 M.. Beliau adalah seorang yatim. Pada usia 16 tahun, beliau belajar Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada ulama-ulama di Baghdad. Setiap mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat, beliau rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk menimba ilmu dari sang ulama, beliau mengunjungi para ulama terkenal di berbagai tempat, seperti Bashrah, Syam, Kufa, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa gurunya antara lain: Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyah, Muzaffar bin Mudrik, Walin bin Muslim dan Musa bin thariq. Kecintaanya terhadap ilmulah yang membuat beliau tidak menikah di usia muda, pada usia 40 tahun barulah beliau menikah.
Kepandaian Imam hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi. Menurut Abdullah bin Ahmad, Imam hambali melakukan seleksi ketat terhadap 700.000 hadits yang telah dihafalnya dan ditulis kembali dalam kitab Al Musnad sebanyak 40.000 hadis berdasarkan susunan nama-nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan dan kepandaiannya telah mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Beliau telah melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Daud.
Menurut Ibnu al-Qayyim, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar penetapan hukum dan fatwa dalam mazhab hambali yaitu : pertama, Al-Qur’an dan Sunnah (jika ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadis maka tidak berpaling pada sumber lain). Kedua, Fatwa Sahabat yang terkenal dan tak ada yang menentangnya. Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, maka beliau akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dan mendekati Al-Qur’an dan Sunnah. Namun jika perbedaan pendapat tersebut tidak ada kesesuaiannya dengan Al-Qur’an maupun Sunnah maka beliau mengambil sikap diam atau meriwayatkan kedua-duanya. Keempat, Mengambil hadis Mursal (sanadnya tidak disebutkan perawinya) dan hadis Dhaif (lemah), dalam hal ini hadis dhaif lebih didahulukan dari pada Qiyas. Kelima, Qiyas (digunakan bila tidak ditemukan dasar hukumnya dari keempat sumber di atas).[12]
Hasil karaya Imam hambali yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin Hambal dan buku buku karangan lainnya, seperti, Tafsir Al Quran, Annasikh Walmansukh, AlTarikh, Jawab Al quran, Taat Arrasul dan Al Wara’.[13]
B. Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang Ekonomi
1. Pemikiran tentang Harta
Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan merupakan salah satu perhiasan dunia. Secara literal harta (al-mal) berarti sesuatu yang naluri manusia condong kepadanya. Dalam terminologi fiqh Para imam mazhab memiliki pandangan yang berbeda tentang harta.
Imam Hanafi menekankan batasan harta pada term ”dapat disimpan”. Hal ini mengisyaratkan pengecualian aspek manfaat. Manfaat bukan merupakan bagian dari konsep harta, melainkan masuk dalam konsep milkiyah. Berdasarkan pendapat ini, harta diartikan sebagai sesuatu (yang selain manusia) yang manusia mempunyai keperluan terhadapnya dapat disimpan untuk ditasharufkan (digunakan pada saat diperlukan).
Jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Hambali) berpendapat bahwa harta tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga manfaat. Menurut pandangan jumhur, kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur terpenting dari harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas manfaatnya.[14]

2.
Pemikiran tentang Uang
Setara dengan para ahli ekonomi, para ulama juga memiliki pandangan yang berbeda–beda mengenai uang sebagaimana diuraikan berikut ini:[15]
Menurut Imam Hambali, uang harus diperlakukan secara khusus. Pendapat yang senada juga datang dari Ibn Qayyim yang merupakan murid Ibn Taimiyah tentang kedudukan uang yang khusus tersebut tidak boleh diperluas untuk mencakup juga barang-barang lain diluar uang.
Menurut Imam Syafi’i, uang terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya berdasarkan kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Karena semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat tukar, pendapat Imam Syafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan. Pendapat ini juga memiliki alasan praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti dibolehkan karena juga didukung oleh Hadits Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi seseorang untuk memperoleh penghidupan”.
Konsep Imam Syafi’i mengenai ”semua barang bisa menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat tukar” membuka konsep baru tentang uang, uang tidak lagi menjadi komoditi (berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya). Orang memegang uang karena uang mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja yang dibutuhkan. Nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk membuat uang tersebut.
Meskipun demikian, Imam Syafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh kebiasaan masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk menimbang uang. Karena kebiasaan ini, maka yang dikategorikan Riba pada masa tersebut adalah apabila jumlah berat yang berbeda dan bukannya dengan jumlah hitungan yang berbeda.
Imam Malik memiliki pandangan yang lebih jauh lagi tentang uang, ia misalnya tidak menganggap riba apabila terdapat perbedaan berat dalam uang. Apabila ada kelebihan berat dalam pertukaran uang sejenis, Imam Malik menganggapnya sebagai kedermawanan (tafaddul) dan perbedaan berat ini tidak perlu dikompensasikan dengan perbedaan jumlah.

3.
Pemikiran tentang Riba
Dalam penetapan hukum bahwa riba itu haram, seluruh ulama telah sepakat tentang hal tersebut. Banyak pandangan yang berbeda di kalangan ulama fiqh mengenai konsep riba, dalam tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan pendapat yang dianggap paling berdampak pada praktik keuangan baik dalam dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut adalah tentang pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman riba.
Imam Hanafi, imam Malik dan imam Hambali membagi riba menjadi dua bagian, yaitu riba fadhl (jaul beli barang sejenis dengan adanya tambahan pada salah satunya) dan riba nasi’ah (menjual barang dengan sejenisnya, tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan). Sedang imam Syafi’i membagi riba menjadi tiga bagian, yaitu riba fadhl (menjual barang dengan sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual beli dengan mengakhirkan penyerahan barang tanpa harus timbang terima), dan riba nasi’ah (jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi harganya ditambah).[16]
Pendapat yang berbeda juga terdapat pada alasan (illat) yang dikemukakan dalam pengharaman riba. Menurut imam Syafi’i dan imam Hambali: dalam emas dan perak, alasannya berkisar masalah-perbedaan-harga atau sejenisnya. Sedang dalam gandum, kurma dan sejenisnya, karena itu merupakan bahan makanan (yang mengandung rasa manis dan minyak), dapat ditakar atau dapat ditimbang. Menurut imam Hanafi: illat riba dalam emas dan perak, karena keduanya termasuk barang yang bisa ditimbang; maka riba masuk dalam segala barang yang bisa ditimbang, termasuk gandum, kurma dan sejenisnya. Sedang menurut imam Malik: dalam masalah gandum, kurma dan sejenisnya, illat ribanya adalah karena merupakan bahan kebutuhan pokok.[17]
Imam Syafi’i menemukan dua hal/barang riba (barang ribawi), yaitu mata uang dan makanan. Imam Malik menambahkan sifat tertentu pada makanan: bahan makanan pokok dan yang dapat diawetkan. Imam Hanafi dan imam Hambali hanya melihat satu sebab, barang-barang yang dijual dengan ditimbang (bobot) atau ditakar (isi).
4. Pemikiran tentang Jual Beli
Jual beli disyari’atkan berdasarkan konsensus kaum muslimin. Karena kehidupan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas tersebut. Jual beli diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda.[18] Ada beberapa perbedaan pandangan antar ulama yang menjadi landasan penetapan hukum jual beli pada masa dahulu dan praktiknya terus berjalan hingga sekarang dengan berbagai bentuk modifikasi.
Tentang jual beli yang dilakukan hanya dengan serah terima barang tanpa kata akad terdapat perbedaan pandangan. Imam Hanafi, imam Syafi’i dan imam Hambali menyatakan jual beli tersebut tidak sah berdasarhan hadits, ”jual beli dilakukan atas dasar saling rela”. Rela adalah persoalan hati yang samar, tidak bisa diketahui kecuali diucapkan. Sedang menurut imam Malik jual beli tersebut sah meski tanpa akad karena serah terima barang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah rela dan menerima hal tersebut.[19]
Dalam jual beli dikenal adanya khiyar. Tentang hal ini juga ada perbedaan pandangan. Menurut imam Syafi’i dan imam Hambali jika kesepakatan jual beli terjadi, masing-masing penjual dan bembeli punya hak khiyar (hak pilih) selama belum berpisah atau punya hak untuk memastikan jadi tidaknya transaksi. Sedang menurut imam Hanafi dan imam Malik jika transaksi jual beli terjadi, masing-masing penjual dan pembeli sudah tidak mempunyai hak khiyar. Transaksi telah sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad.[20] Lebih jauh, tentang khiyar, dalam hal jual beli benda yang ghaib (tidak ada di tempat) atau belum pernah diperiksa menurut imam Hanafi, imam Malik dan imam Hambali pembeli mempunyai hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan akad jual beli ketika melihatnya. Sedang menurut imam Syafi’i jual beli terhadap benda yang ghaib dari semula sudah tidak sah sehingga tidak ada hak khiyar di dalamnya.[21]
5. Pemikiran tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)
Kerjasama usaha yang umum dilakukan dalam bisnis diantaranya syirkah, mudharabah, wakalah dan sebagainya. Di sini akan dikemukakan tentang perbedaan pendapat di antara ulama dalam beberapa aspek kerjasama usaha.
Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam syirkah, imam Malik dan imam Syafi’i menyatakan bahwa dalam syirkah ’inan, jika modal masing-masing sama tetapi pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah tersebut menjadi rusak (batal). Menurut Syafi’i, dalam syirkah ’inan modal masing-masing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu dengan lainnya dan tidak ditentukan pembagian hasilnya. Sedang menurut imam Hanafi pembagian keuntungan yang tidak sama, meski modal masing-masing pihak sama adalah boleh, jika memang telah ditentukan demikian. Pembagian keuntungan tidak hanya didasarkan atas modal, tapi juga atas masa kerja, besarnya tanggung jawab dan lainnya.[22]
Dalam mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam beberapa aspek. Tentang pembatasan masa kerjasama, menurut imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali tidak dibolehkan karena tujuan mudharabah adalah untuk mendapatkan keuntungan. Batasan waktu akan menghilangkan tujuan tersebut. Sedang menurut imam Hanafi, perjanjian kerjasama mudharabah boleh dilakukan dalam jangka waktu tertentu karena pemilik modal mempunyai hak untuk menghentikan atau membatalkan perjanjian kapan saja.
Selain itu, tentang kerugian yang disebabkan oleh pengelola imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali berpendapat bahwa kerugian itu adalah tanggung jawab pengelola bukan pemilik modal. Sedang menurut imam Hanafi, tanggung jawab atas kerugian ada pada pemilik modal bukan pada pengelola karena itu adalah kelalaian pemilik modal yang menyerahkan modal tanpa memperhitungkan kemungkinan baik buruknya.
Dalam pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam Hanafi dan imam Syafi’i pemilik modal boleh ikut bekerja. Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan adalah tanggung jawabnya sendiri. pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan tetap mendapat upah atas kerjanya. Sedang menurut imam Malik, pemilik modal tidak boleh ikut bekerja karena akan mempersulit posisi pengelola.
Dalam penentuan kegiatan pengelola (manajerial usaha), imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat bahwa pemilik modal tidak boleh membatasi gerak kegiatan pengelola karena pemilik modal belum tentu lebih pandai dari pengelola. Sedang imam Hanafi dan imam Hambali berpendapat bahwa pemilik modal boleh membatasi gerak kegiatan bisnis pengelola sebab pemilik modal pasti lebih mengerti daripada pengelola.[23]
6. Pemikiran tentang Gadai
Dalam operasional gadai terdapat beberapa aspek esensial yang membawa cara pandang berbeda pada kalangan ulama. Menurut Imam Malik; jaminan dengan akad (janji) saja telah dianggap cukup, meski barang yang dijadikan jaminan tidak diserahkan pada pihak pemberi utang. Ini untuk orang-orang tertentu yang bisa dipercaya kata-kata dan janjinya. Sedang menurut imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali; akad jaminan atau gadai tidak sah tanpa penyerahan barangnya. Ini untuk masyarakat kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diucapkan. Mereka biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa memperhatikan orang lain.
Tentang penguasaan kreditur atas barang jaminan terdapat perbedaan pandangan. Menurut Imam Syafi’i;penguasaan kreditur atas barang jaminan (gadaian) tidak termasuk syarat akad gadai. Ini untuk orang kebanyakan yang biasanya kurang memperhatikan persoalan keadilan dan agama. Sedang Menurut Imam Hanafi dan Malik; kreditur harus menguasai barang yang digadaikan (barang yang dijadikan jaminan utang). Ia termasuk syarat sah gadai. Jika barang gadai lepas dari tangannya, batal akad gadainya. Tetapi, jika kembalinya barang kepada pemberi gadai tersebut karena persoalan utang atau titipan, akad gadai tetap sah, tidak batal. Ini untuk orang yang memperhatikan agama dan keadilan. Sungguh, kreditur tidak mengambil barang kecuali sebagai jaminan atas hak-haknya. Jika barang yang digadaikan (yang dijadikan jaminan) lepas dari tangannya berarti sama dengan tidak menerima jaminan dan ia tidak dapat ganti rugi jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan di kemudian hari. Sedemikian, sehingga penguasaan kreditur atas barang jaminan termasuk syarat sah akad gadai.
Dalam praktek gadai, jika terjadi satu barang dipergunakan sebagai jaminan atas dua macam utang, maka Menurut imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali barang gadaian tetap hanya menjadi jaminan atas utang yang pertama, tidak termasuk utang kedua. Sedang Menurut Imam Malik; menjadikan barang jaminan untuk dua macam utang pada orang yang sama adalah boleh, jika pihak kreditur memang mau menerima hal tersebut. Apalagi bagi orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka bahkan mau menerima meski tanpa ada jaminan sekali pun.
Tentang pemanfaatan barang gadai, menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik; kedua Imam tersebut sependapat bahwa manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan (pemilik barang). Murtahin tidak dapat mengambil manfaat daripadanya, kecuali atas izin dari pihak yang menggadaikan. Menurut imam Hambali penerima gadai tidak dapat mengambil manfaat dari barang gadaian apabila barang yang digadaikan itu hewan yang tidak bisa ditunggangi dan diperah. Sedangkan apabila barang yang digadaikan itu hewan yang dapat ditunggangi dan diperah, maka penerima gadai dapat mengambil manfaat dengan menunggangi dan memerah susunya sesuai dengan biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Sedang menurut Imam Hanafi manfaat dari barang gadaian adalah hak penerima gadai, karena barang gadaian berada di tangan dan kekuasaan penerima gadai.[24]
C. Pengaruh Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang Ekonomi Terhadap Perkembangan Pemikiran Ekonomi Kontemporer
1. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Harta
Perbedaan konsep tentang harta dari para imam mazhab ini menimbulkan pengaruh yang berbeda pula. Contohnya: tentang pemanfaatan seseorang terhadap harta orang lain (ghasab), jika mengikuti pendapat jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali) maka pemilik barang berhak menuntut ganti rugi atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam Hanafi, pemilik tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat tidak termasuk dalam harta.
Contoh lain adalah tentang wakaf. Menurut imam Hanafi kepemilikan barang yang diwakafkan tidak harus lepas dari wakif dan dibenarkan bagi wakif untuk menariknya kembali serta boleh menjualnya. Sedang menurut jumhur fuqaha, harta wakaf tidak lagi menjadi milik wakif melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau secara terminologi sosiologis harta wakaf menjadi milik masyarakat umum dan wakif tidak boleh menariknya kembali apalagi menjualnya.[25]
  1. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Uang
Perbedaan pendapat di antara para ulama tentang uang juga membawa implikasi yang berbeda. Fungsi uang adalah sebagai Medium of Exchange (satuan alat tukar), Unit of Account (satuan pengukur), dan Store of value (penyimpan nilai).[26]
Berdasarkan pendapat imam Hambali, uang berkedudukan sebagai komoditi yang berfungsi untuk mengukur nilai dari barang yang menjadi uang itu sendiri (nilai intrinsik) dan tidak dapat disamakan dengan selainnya.
Pendapat imam Syafi’i membawa implikasi yang lebih luas, karena selain sebagai satuan pengukur nilai uang juga berfungsi sebagai alat tukar. Uang menurut Syafi’i dapat digunakan untuk menilai dan menukar/membayar barang lain.
Sedang pandangan yang berbeda dari imam Malik mempunyai implikasi yang lain pula. Uang yang berfungsi sebagai pengukur nilai dan alat tukar tidak akan mengakibatkan riba meskipun terdapat perbedaan berat dalam pertukaran uang sejenis. Kelebihan tersebut diakui sebagai kedermawanan yang tidak membutuhkan kompensasi dalam jumlah tertentu. Pandangan ini memberikan setidaknya dapat dijadikan sandaran untuk melegitimasi praktik keuangan semisal jual beli valas (sharf).[27]
3. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Riba
Semua mazhab menyatakan bahwa larangan riba berlaku bagi barang yang memiliki satu (sub) sebab tunggal. Imam Hanafi dan imam Hambali melarang jual beli makanan dengan tembaga secara kredit (keduanya ditimbang) namun membolehkan jual beli makanan dengan garam secara kredit (salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan imam Syafi’i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara makanan atau mata uang, mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali. Yang lebih kontemporer misalnya tentang minyak mentah. Menurut imam Hanafi dan imam Hambali minyak mentah termasuk ribawi, tetapi tidak menurut Syafi’i dan Maliki.
Masih dalam konteks riba, pandangan para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi pemikiran para pakar dalam menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan Hadits yang sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy[28] yang berada di balik ketentuan riba adalah tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan dalam pertukaran. Ini juga yang kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa pinjama qard tanpa bunga sah, sedang jual beli dengan penangguhan barang ribawi untuk memperoleh barang ribawi lain dengan harga sama yang dihutang tidak sah. Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli yang akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh, pinjaman selalu siap dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu, sebuah ketentuan yang menguntungkan pemberi pinjaman dan mengurangi risiko pasarnya.
Ibn Qayyim dari mazhab Hambali juga memaparkan bahwa dalil bagi pelarangan adalah untuk mencegah eksploitasi dari kaum yang kuat atas kaum yang lemah, memaksa investor menanggung risiko investasi, meminimalkan perdagangan uang dan bahan makanan, serta mengaitkan keabsahan keuntungan dengan pengambilan risiko.[29]
4. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Jual Beli
Pada masa kini praktik jual beli telah mengalami berbagai perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sesuai dengan perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual beli hanya dengan serah terima barang tanpa akad dalam praktik kekinian memunculkan implikasi yang berbeda pula. Jika menurut jumhur, maka praktik jual beli dengan sistem swalayan seperti dilakukan di minimarket / supermarket / departement store yang hanya dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri dengan pembayaran tanpa akad adalah tidak sah. Jika ada percekcokan antara penjual dan pembeli di kemudian hari, hakim tidak bisa memeriksa dan menyelesaikan persoalan itu karena tidak ada saksi atau bukti. Dalam konteks kekinian dengan kian maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata akad saja belum memadai dan didukung bukti lain seperti kuitansi, akte dan sejenisnya untuk memperkuat akad. Sedang jika menurut imam Malik jual beli dengan sistem swalayan sah karena dengan adanya serah terima barang berarti sudah menunjukkan kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela mereka tidak akan melakukannya.
Praktik jual beli pada masa modern tidak lagi selalu mengikuti tradisi masa lalu yang dilakukan di suatu tempat tertentu (pasar) antara penjual dan pembeli yang bertemu dan bertransaksi. Kini, jual beli dilakukan tanpa harus mempertemukan penjual dan pembeli dalam satu majelis. Jual beli dapat dilakukan melalui telepon, internet, dan berbagai sarana komunikasi/perhubungan lainnya. Jika mengikuti pendapat imam Syafi’i, praktik jual beli tersebut tidak sah karena tidak berada dalam satu majelis dan barangnya pun tidak ada di tempat akad. Namun jika menurut jumhur, praktik tersebut sah dan diikuti oleh hak khiyar bagi pembeli untuk membatalkan atau meneruskan akad saat barang dilihatnya.[30]
5. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)
Dalam aktivitas ekonomi terutama bidang keuangan dan perbankan konsep kerjasama usaha (kemitraan) ini akan selalu ada. Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah dua pendapat berbeda ini sama-sama memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap kebijakan penetapan nisbah bagi hasil dan risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah. Jika menurut pendapat imam Hanafi, pembagian keuntungan yang berbeda dibolehkan. Ini diterapkan dalam pembagian keuntungan secara unproporsional sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar pihak yang bekerjasama menperoleh alokasi keuntungan yang tidak sama. Menurut pendapat imam Malik dan imam Syafi’i keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak yang bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun jika dianalisis lebih lanjut, mekanisme pembagian keuntungan usaha dalah musyarakah lebih cenderung mengikuti pendapat imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi (modal atau tenaga) yang diberikan.[31]
Dalam praktik mudharabah, teknis yang diterapkan diperbankan Syariah untuk penetapan jangka waktu kerjasama mengikuti pendapat imam Hanafi yakni kerjasama tersebut harus ditentukan batas waktunya dan bukan unlimited time agreement.
Dalam hal penanggungan risiko kerugian yang disebabkan kesalahan pengelola, ketetapan bank mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali yaitu menjadi tanggung jawab pengelola bukan pemilik dana.
Teknis lain di bank Syariah tentang keikut sertaan pemilik dana dalam operasional usaha. Dalam mudharabah pemilik dana tidak turut dalam pengelolaan usaha. Pengelolaan sepenuhnya dilakukan pengelola dana. Ini merupakan implikasi dari pendapat imam Malik.
Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu mudharabah mutlaqah (jenis usaha/kegiatan pengelolaan dana tidak dibatasi/ditentukan oleh pemilik dana). Ini menurut pendapat imam Malik dan imam Syafi’i. Selain itu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana boleh menetapkan jenis usaha/kegiatan pengelola (managerial). Ini sejalan dengan pendapat imam Hanafi dan imam Hambali. Kedua pendapat ini mempunyai implikasi yang sama terhadap kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis mudharabah tersebut dipraktikkan.[32]
6. Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Gadai
Gadai mempunyai dua nilai akad yang berjalan beriringan. Di satu sisi, rahn merupakan akad yang bersifat derma sebab apa yang diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak ditukar dengan sesuatu. Yang diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah utang, bukan penukar atas barang yang digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad ini juga bersifat komersial. Pihak yang berakad tidak boleh saling merugikan. Kebolehan memanfaatkan barang jaminan meski dengan syarat tertentu juga mengisyaratkan adanya unsur tersebut dalam akad ini. Dikenakan biaya jasa untuk prosedur gadai di pegadaian juga menunjukkan indikasi komersialnya akad ini. Pengenaan biaya jasa ini kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda dengan praktek pinjam meminjam uang di bank.[33]
Secara umum praktik gadai tidak terpengaruh oleh perbedaan pendapat para ulama. Yang menjadi esensi implikasi pendapat para ulama fiqh ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah mengenai penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang umum dipraktikkan di Indonesia adalah barang gadai (yang menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti pendapat imam Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya adalah tentang pemanfaatan barang gadai. Umumnya, yang dipraktikkan adalah pihak penerima gadai selalu memanfaatkan barang gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti pendapat imam Hanafi.
Implikasi pendapat para imam fiqh ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana praktik gadai bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam hubungan orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit membedakan adalah dari sisi pemanfaatan barang gadai, di pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak dimanfaatkan dan hanya disimpan sampai ditebus kembali oleh yang menggadaikan. Ini mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali.

D.
Kesimpulan
Pendapat yang berbeda dari 4 imam mazhab tentang konsep ekonomi didasari oleh pemikiran, sudut pandang dan adat kebiasaan yang berbeda pada saat mereka mengeluarkan fatwa.
Perbedaan dan pengaruh konsep ekonomi keempat imam mazhab yang dikemukakan di atas merupakan konsep (yang menurut penulis) utama dalam term ekonomi Islam, di samping masih banyak kajian dan konsep mereka dalam ranah fiqh muamalah. Keenam konsep tersebut adalah konsep tentang harta, uang, riba, jual beli, kerjasama usaha (kemitraan) dan gadai.



[3]Sebagaimana dikemukakan oleh Ali Zainal Adzim dalam “Imam Hanafi (Nashiru al-Ra’yi)”, http://bindharashout.blogspot.com/2008/10/imam-hanafi.html
[4]http://bindharashout.blogspot.com/2008/10/imam-hanafi.htm
[13]Ibid.
[14]Gufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontektual, Rajawali Press, Jakarta, 2002, hlmn. 10 et seq
[16]Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlmn. 262 et seqq
[17]Ach. Khudori Soleh, Fiqih Konekstual (Perspektif Sufi-Falsafi), Pertja, Jakarta, 1999, hlmn. 19
[18]Abdullah al-Mushlih, Salah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, terj. Abu Umar Basyir, Darul Haq, Jakarta, 2004, hlmn. 90
[19]Ach. Khudori Soleh, op.cit., hlmn. 2 et seq
[20]Ibid., hlmn. 4
[21]Gufron A. Mas’adi, op.cit., hlmn. 113 et seq
[22] Ach. Khudori Soleh, op.cit., hlmn. 66
[23] Ach. Khudori Soleh, op.cit., hlmn. 66 et seqq
[24] Ach. Khudori Soleh, op.cit., hlmn. 41 et seqq
[25]Gufron A. Mas’adi, op.cit, hlmn. 11 et seq
[27]Gufron A. Mas’adi, op.cit, hlmn. 149
[28]Lihat dalam Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman, A. Haris Abdullah, Asy-Syifa, Smarang, 1990, hlmn. 9 et Esq.
[29]Frank E. Vogel, Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam Konsep, Teori dan Praktik, Terj. M. Sobirin Asnawi, et.al., Nusa Media, Bandung, 2007, hlmn. 96 et seqq
[30]Gufron A. Mas’adi, op.cit
[31]M. Safi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hlmn. 90 et Esq.
[32]Ibid.
[33]M. Ali Hasan, Masail Fiqh Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 86