A. Riwayat Hidup 4 Imam Mazhab
1. Riwayat Hidup Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan dengan sebutan Imam Hanafi bernama
asli Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah
(699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan. Beliau
digelari Abu Hanifah (suci dan lurus) karena kesungguhannya dalam beribadah
sejak masa kecilnya, berakhlak mulia serta menjauhi perbuatan dosa dan keji.
Mazhab fiqhinya dinamakan Mazhab Hanafi. Gelar ini merupakan berkah dari doa
Ali bin Abi Thalib r.a, dimana suatu saat ayahnya (Tsabit) diajak oleh kakeknya
(Zauti) untuk berziarah ke kediaman Ali r.a yang saat itu sedang menetap di
Kufa akibat pertikaian politik yang mengguncang ummat islam pada saat itu, Ali
r.a mendoakan agar keturunan Tsabit kelak akan menjadi orang-orang yang utama
di zamannya, dan doa itu pun terkabul dengan hadirnya Imam hanafi, namun tak
lama kemudian ayahnya meninggal dunia.
Imam Hanafi adalah salah
satu sosok hamba Allah yang sangat cerdas dan brilian dalam menangkap ilmu-ilmu
agama. Pada masa remajanya, dengan
segala kecemerlangan otaknya Imam Hanafi telah menunjukkan kecintaan kepada
ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan hukum Islam. Disamping
kesungguhannya dalam menuntut ilmu fiqh, beliau juga mendalami ilmu tafsir,
hadis, bahasa arab dan ilmu hikmah, yang telah mengantarkannya sebagai ahli
fiqh, dan keahliannya itu diakui oleh ulama-ulama di zamannya, seperti Imam
hammad bin Abi Sulaiman yang mempercayakan kepadanya untuk memberi fatwa dan
pelajaran fiqh kepada murid-muridnya. Keahliannya tersebut bahkan dipuji oleh
Imam Syafi’i, ”Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fiqh“. Karena
kepedulian yang sangat besar terhadap hukum Islam, Imam Hanafi kemudian
mendirikan sebuah lembaga yang di dalamnya berkecimpung para ahli fiqh untuk
bermusyawarah tentang hukum-hukum Islam serta menetapkan hukum-hukumnya dalam
bentuk tulisan sebagai perundang-undangan dan beliau sebagai ketua lembaga
tersebut. Jumlah hukum yang telah disusun oleh lembaga tersebut berkisar 83
ribu, 38 ribu diantaranya berkaitan dengan urusan agama dan 45 ribu lainnya
mengenai urusan dunia. Imam Hanafi disebutkan sebagai tokoh yang pertama kali
menyusun kitab fiqh berdasarkan kelompok-kelompok yang berawal dari kesucian (taharah),
shalat dan seterusnya, yang kemudian diikuti oleh ulama-ulama sesudahnya seperti Malik bin
Anas, Imam Syafi'i, Abu Dawud, Bukhari, Muslim dan lainnya.[1]
Beliau wafat Pada Awal bulan Dzul-Qa’idah 767 M/321 H.[2]
Metode yang digunakan dalam menetapkan hukum (istimbath) adalah: [3]
a. Al-Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum
b. Sunnah Rasul sebagai penjelasan terhadap hal hal yang global yang ada dalam Al-
Qur’an
c. Fatwa sahabat (Aqwal
as-Sahabah) karena mereka semua menyaksikan turunnya ayat dan mengetahui asbabun
nuzul-nya serta asbabul wurud hadis dan para perawinya. Sedangkan
fatwa para tabiin tidak memiliki kedudukan sebagaimana fatwa sahabat
d. Qiyas (Analogi) yang digunakan apabila tidak ada nash yang sharih dalam Al
Quran, Hadis maupun Aqwal Asshabah
e. Istihsan yaitu keluar atau menyimpang dari keharusan logika menuju hukum lain yang
menyalahinya karena tidak tepatnya Qiyas atau karena Qiyas tersebut berlawanan
dengan Nash
f. Ijma’ yaitu kesepakatan para mujtahid dalam suatu kasus hukum pada suatu masa
tertentu
g. ‘Urf yaitu adat kebiasaan orang muslim dalam suatu masalah tertentu yang tidak
ada nashnya dalam Al-Qur’an, Sunnah dan belum ada prakteknya pada masa sahabat.
Karya besar yang ditinggalkan oleh Imam hanafi yaitu Fiqh Akhbar, Al ‘Alim
Walmutam dan Musnad Fiqh Akhbar.[4]
2. Riwayat Hidup Imam Malik
Imam malik bernama lengkap Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi
Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi, lahir
di Madinah pada tahun 713 M/93 H.[5]
Imam Malik berasal dari keluarga Arab terhormat dan berstatus sosial tinggi,
baik sebelum datangnya Islam maupun sesudahnya. Leluhurnya berasal dari Yaman,
namun setelah nenek moyangnya menganut Islam mereka pindah ke Madinah, kakeknya
(Abu Amir) adalah anggota keluarga pertama yang memeluk agama Islam pada tahun
ke dua Hijriah.
Imam Malik menekuni pelajaran hadis kepada ayah dan paman pamannya. Ia juga
pernah berguru pada ulama-ulama terkenal seperti Nafi’ bin Abi Nuaim, Ibnu
Syihab az-Zuhri, Abu Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Said al-Anshari,
Muhammad bin Munkadir, Abdurrahman bin Hurmuz dan Imam Ja’far as-Shadiq.
Kecintaannya kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan, tidak kurang dari empat Khalifah, mulai dari al-Mansur,
al-Mahdi, Harun ar-Rasyid dan al-Makmun pernah menjadi muridnya. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang terkenal mencapai 1.300 orang.
Ciri pengajaran Imam malik adalah disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid
terhadap gurunya.[6]
Imam malik tidak hanya meninggalkan warisan buku, tapi juga mewariskan
Mazhab fiqhnya di kalangan sunni yang disebut sebagai mazhab Maliki. Mazhab ini
sangat mengutamakan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Sumber hukum
yang menjadi pedoman dalam mazhab Maliki adalah Al Quran, Sunnah Rasulullah,
Amalan para sahabat, Tradisi masyarakat Madinah, Qiyas dan al-Maslaha al-Mursal
kemaslahatan yang tidak didukung atau dilarang oleh dalil tertentu. Ia wafat
pada 10 Rabiulawal 796 M/179 H.[7]
Karya Imam malik terbesar adalah
bukunya Al-Muwatha’, yaitu kitab fiqh yang berdasarkan himpunan hadis hadis
pilihan. Kitab ini ditulis pada masa khalifah al-Mansur (754-775 M) dan selesai
di masa khalifah al-Mahdi (775-785 M). Semula kitab ini memuat 10 ribu hadis
namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720 hadis. Kitab
tersebut diriwayatkan lebih dari seribu orang, karena itu naskahnya
berbeda-beda dan seluruhnya berjumlah 30 naskah, tetapi yang terkenal hanya 20
buah. Dan yang paling masyur adalah riwayat dari Yahya bin Yahyah al-Laitsi
al-Andalusi al- Mashmudi. Selain kitab tersebut, beliau juga mengarang buku
al-Mudawwanah al-Kubra.[8]
3. Riwayat Hidup Imam Syafi’i
Imam Syafi’i bernama lengkap Abu
Abdullah Muhammad bin Idris As Syafi’i, lahir di Gaza, Palestina pada tahun 150
Hijriah (767 M), berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih keluarga
jauh rasulullah SAW. dari ayahnya. Saat berusia 9 tahun, beliau telah menghafal
seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali khatam
Al-Qur’an dalam perjalanan dari Mekkah menuju Madinah. Setahun kemudian, kitab
Al Muwatha’ karangan imam dihafalnya di luar kepala. Kecerdasannya membuat ia
dalam usia sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota Mekkah.
Meskipun Imam Syafi’i menguasai
hampir seluruh disiplin ilmu, namun beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan
hukum karena inti pemikirannya terfokus pada dua cabang ilmu tersebut.
Pembelaannya yang besar terhadap sunnah Nabi membuat beliau digelari Nasuru
Sunnah (Pembela Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi. Selain kedua sumber (Al-Qur’an dan Hadis), dalam
mengambil suatu ketetapan hukum, Imam Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan
istidlal (penalaran) sebagai dasar hukum Islam.[9]
beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 H/820 M.[10]
Al Baihaqi dalam Manaqib Asy Syafi’I
mengatakan bahwa Imam Syafi’I telah menghasilkan sekitar 140-an kitab, baik
dalam Ushul maupun Furu’. Di antara karangannya adalah “Ar Risalah” buku
pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang
baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul.
Beliau mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Karyanya yang lain
adalah As-Sunan al-Ma’tsurah, al-Fiqh al-Akbar, Al-Musnad, ikhtilaf
al-hadits dan Jima’ul Ilmi.[11]
4. Riwayat Hidup Imam Hambali
Imam Hambali bernama lengkap Ahmad
bin Muhammad bin Hambal, lahir di Baghdad pada tahun 161 H/780 M dan wafat pada
tahun 236H/855 M.. Beliau adalah seorang yatim. Pada
usia 16 tahun, beliau belajar Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya kepada
ulama-ulama di Baghdad. Setiap mendengar ada ulama terkenal di suatu tempat,
beliau rela menempuh perjalanan jauh dan waktu yang cukup lama untuk menimba
ilmu dari sang ulama, beliau mengunjungi para ulama terkenal di berbagai
tempat, seperti Bashrah, Syam, Kufa, Yaman, Mekkah dan Madinah. Beberapa
gurunya antara lain: Hammad bin Khalid, Ismail bin Aliyah, Muzaffar bin Mudrik,
Walin bin Muslim dan Musa bin thariq. Kecintaanya terhadap ilmulah yang membuat
beliau tidak menikah di usia muda, pada usia 40 tahun barulah beliau menikah.
Kepandaian Imam hambali dalam ilmu hadis tak diragukan lagi. Menurut
Abdullah bin Ahmad, Imam hambali melakukan seleksi ketat terhadap 700.000
hadits yang telah dihafalnya dan ditulis kembali dalam kitab Al Musnad sebanyak
40.000 hadis berdasarkan susunan nama-nama sahabat yang meriwayatkan. Kemampuan
dan kepandaiannya telah mengundang banyak tokoh ulama berguru kepadanya. Beliau
telah melahirkan banyak ulama dan pewaris hadis terkenal semisal Imam bukhari,
Imam Muslim dan Imam Abu Daud.
Menurut Ibnu al-Qayyim, ada lima landasan pokok yang dijadikan dasar
penetapan hukum dan fatwa dalam mazhab hambali yaitu : pertama, Al-Qur’an
dan Sunnah (jika ada nashnya dalam Al-Qur’an dan hadis maka tidak berpaling
pada sumber lain). Kedua, Fatwa Sahabat yang terkenal dan tak ada yang
menentangnya. Ketiga, jika para sahabat berbeda pendapat, maka beliau
akan memilih pendapat yang dinilainya lebih sesuai dan mendekati Al-Qur’an dan
Sunnah. Namun jika perbedaan pendapat tersebut tidak ada kesesuaiannya dengan
Al-Qur’an maupun Sunnah maka beliau mengambil sikap diam atau meriwayatkan
kedua-duanya. Keempat, Mengambil hadis Mursal (sanadnya tidak disebutkan
perawinya) dan hadis Dhaif (lemah), dalam hal ini hadis dhaif lebih didahulukan
dari pada Qiyas. Kelima, Qiyas (digunakan bila tidak ditemukan dasar
hukumnya dari keempat sumber di atas).[12]
Hasil karaya Imam hambali yang paling terkenal adalah Musnad Ahmad bin
Hambal dan buku buku karangan lainnya, seperti, Tafsir Al Quran, Annasikh
Walmansukh, AlTarikh, Jawab Al quran, Taat Arrasul dan Al Wara’.[13]
B. Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang Ekonomi
1. Pemikiran tentang Harta
Harta merupakan keperluan hidup yang sangat penting dan merupakan salah
satu perhiasan dunia. Secara literal harta (al-mal) berarti sesuatu yang
naluri manusia condong kepadanya. Dalam terminologi fiqh Para imam mazhab
memiliki pandangan yang berbeda tentang harta.
Imam Hanafi menekankan batasan harta pada term ”dapat disimpan”. Hal ini
mengisyaratkan pengecualian aspek manfaat. Manfaat bukan merupakan bagian dari
konsep harta, melainkan masuk dalam konsep milkiyah. Berdasarkan
pendapat ini, harta diartikan sebagai sesuatu (yang selain manusia) yang
manusia mempunyai keperluan terhadapnya dapat disimpan untuk ditasharufkan
(digunakan pada saat diperlukan).
Jumhur fuqaha (imam Malik, imam Syafi’i, dan imam Hambali) berpendapat
bahwa harta tidak hanya terbatas pada materi tetapi juga manfaat. Menurut
pandangan jumhur, kegunaan atau manfaat barang merupakan unsur terpenting dari
harta karena nilai harta sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas
manfaatnya.[14]
2. Pemikiran tentang Uang
Setara dengan para ahli ekonomi, para ulama juga memiliki pandangan yang
berbeda–beda mengenai uang sebagaimana diuraikan berikut ini:[15]
Menurut Imam Hambali, uang harus diperlakukan secara khusus. Pendapat yang
senada juga datang dari Ibn Qayyim yang merupakan murid Ibn Taimiyah tentang
kedudukan uang yang khusus tersebut tidak boleh diperluas untuk mencakup juga
barang-barang lain diluar uang.
Menurut Imam Syafi’i, uang terpisah sama sekali dari jenis barang lainnya
berdasarkan kesepahaman antar pengguna uang tersebut. Karena semua barang bisa
menjadi alat tukar atau memiliki sifat sebagai alat tukar, pendapat Imam
Syafi’i tersebut memberikan banyak kebebasan. Pendapat ini juga memiliki alasan
praktis bahwa jual beli bahan makanan dengan uang pasti dibolehkan karena juga
didukung oleh Hadits Rasulullah SAW, “Cara yang berguna bagi seseorang untuk
memperoleh penghidupan”.
Konsep Imam Syafi’i mengenai ”semua barang bisa menjadi alat tukar atau
memiliki sifat sebagai alat tukar” membuka konsep baru tentang uang, uang tidak
lagi menjadi komoditi (berbeda dengan emas dan perak dalam bentuk aslinya).
Orang memegang uang karena uang mudah dipakai untuk membeli kebutuhan apa saja
yang dibutuhkan. Nilai uang adalah berdasarkan kesepakatan dan tidak lagi
terbatas pada nilai intrinsik yang terkandung dalam logam yang dipakai untuk
membuat uang tersebut.
Meskipun demikian, Imam Syafi’i sendiri lebih condong untuk menimbang uang
berdasarkan berat dibandingkan dengan menghitungnya, hal ini didorong oleh
kebiasaan masyarakat pada zamannya yang begitu kuat memegang tradisi untuk
menimbang uang. Karena kebiasaan ini, maka yang dikategorikan Riba pada masa
tersebut adalah apabila jumlah berat yang berbeda dan bukannya dengan jumlah
hitungan yang berbeda.
Imam Malik memiliki pandangan yang lebih jauh lagi tentang uang, ia
misalnya tidak menganggap riba apabila terdapat perbedaan berat dalam uang.
Apabila ada kelebihan berat dalam pertukaran uang sejenis, Imam Malik
menganggapnya sebagai kedermawanan (tafaddul) dan perbedaan berat ini tidak
perlu dikompensasikan dengan perbedaan jumlah.
3. Pemikiran tentang Riba
Dalam penetapan hukum bahwa riba itu haram, seluruh ulama telah sepakat
tentang hal tersebut. Banyak pandangan yang berbeda di kalangan ulama fiqh
mengenai konsep riba, dalam tulisan ini hanya dikemukakan dua perbedaan
pendapat yang dianggap paling berdampak pada praktik keuangan baik dalam
dimensi pemikiran klasik maupun kontemporer. Hal tersebut adalah tentang
pembagian riba dan alasan (illat) pengharaman riba.
Imam Hanafi, imam Malik dan imam Hambali membagi riba menjadi dua bagian,
yaitu riba fadhl (jaul beli barang sejenis dengan adanya tambahan pada
salah satunya) dan riba nasi’ah (menjual barang dengan sejenisnya,
tetapi yang satu lebih banyak, dengan pembayaran diakhirkan). Sedang
imam Syafi’i membagi riba menjadi tiga bagian, yaitu riba fadhl (menjual
barang dengan sejenisnya tetapi yang satu dilebihkan), riba yad (jual
beli dengan mengakhirkan penyerahan barang tanpa harus timbang terima), dan
riba nasi’ah (jual beli yang pembayarannya diakhirkan tetapi harganya
ditambah).[16]
Pendapat yang berbeda juga terdapat pada alasan (illat) yang
dikemukakan dalam pengharaman riba. Menurut imam Syafi’i dan imam Hambali:
dalam emas dan perak, alasannya berkisar masalah-perbedaan-harga atau
sejenisnya. Sedang dalam gandum, kurma dan sejenisnya, karena itu merupakan
bahan makanan (yang mengandung rasa manis dan minyak), dapat ditakar atau dapat
ditimbang. Menurut imam Hanafi: illat riba dalam emas dan perak, karena
keduanya termasuk barang yang bisa ditimbang; maka riba masuk dalam segala
barang yang bisa ditimbang, termasuk gandum, kurma dan sejenisnya. Sedang
menurut imam Malik: dalam masalah gandum, kurma dan sejenisnya, illat ribanya
adalah karena merupakan bahan kebutuhan pokok.[17]
Imam Syafi’i menemukan dua hal/barang riba (barang ribawi), yaitu mata uang
dan makanan. Imam Malik menambahkan sifat tertentu pada makanan: bahan makanan
pokok dan yang dapat diawetkan. Imam Hanafi dan imam Hambali hanya melihat satu
sebab, barang-barang yang dijual dengan ditimbang (bobot) atau ditakar (isi).
4. Pemikiran tentang Jual Beli
Jual beli disyari’atkan berdasarkan konsensus kaum muslimin. Karena
kehidupan manusia tidak bisa lepas dari aktivitas tersebut. Jual beli
diklasifikasikan dalam banyak pembagian dengan sudut pandang yang berbeda.[18]
Ada beberapa perbedaan pandangan antar ulama yang menjadi landasan penetapan
hukum jual beli pada masa dahulu dan praktiknya terus berjalan hingga sekarang
dengan berbagai bentuk modifikasi.
Tentang jual beli yang dilakukan hanya dengan serah terima barang tanpa
kata akad terdapat perbedaan pandangan. Imam Hanafi, imam Syafi’i dan imam
Hambali menyatakan jual beli tersebut tidak sah berdasarhan hadits, ”jual
beli dilakukan atas dasar saling rela”. Rela adalah persoalan hati yang
samar, tidak bisa diketahui kecuali diucapkan. Sedang menurut imam Malik jual
beli tersebut sah meski tanpa akad karena serah terima barang menunjukkan bahwa
yang bersangkutan telah rela dan menerima hal tersebut.[19]
Dalam jual beli dikenal adanya khiyar. Tentang hal ini juga ada
perbedaan pandangan. Menurut imam Syafi’i dan imam Hambali jika kesepakatan
jual beli terjadi, masing-masing penjual dan bembeli punya hak khiyar (hak
pilih) selama belum berpisah atau punya hak untuk memastikan jadi tidaknya
transaksi. Sedang menurut imam Hanafi dan imam Malik jika transaksi jual beli
terjadi, masing-masing penjual dan pembeli sudah tidak mempunyai hak khiyar.
Transaksi telah sempurna dan telah terjadi dengan adanya akad.[20]
Lebih jauh, tentang khiyar, dalam hal jual beli benda yang ghaib (tidak
ada di tempat) atau belum pernah diperiksa menurut imam Hanafi, imam Malik dan
imam Hambali pembeli mempunyai hak khiyar untuk membatalkan atau meneruskan
akad jual beli ketika melihatnya. Sedang menurut imam Syafi’i jual beli
terhadap benda yang ghaib dari semula sudah tidak sah sehingga tidak ada
hak khiyar di dalamnya.[21]
5. Pemikiran tentang Kerjasama Usaha
(Kemitraan)
Kerjasama usaha yang umum dilakukan dalam bisnis diantaranya syirkah,
mudharabah, wakalah dan sebagainya. Di sini akan dikemukakan tentang
perbedaan pendapat di antara ulama dalam beberapa aspek kerjasama usaha.
Tentang pembagian keuntungan yang tidak sama dalam syirkah, imam
Malik dan imam Syafi’i menyatakan bahwa dalam syirkah ’inan, jika modal
masing-masing sama tetapi pembagian keuntungan tidak sama, maka syirkah
tersebut menjadi rusak (batal). Menurut Syafi’i, dalam syirkah ’inan modal
masing-masing harus dicampur sampai tidak bisa dibedakan lagi satu dengan
lainnya dan tidak ditentukan pembagian hasilnya. Sedang menurut imam Hanafi
pembagian keuntungan yang tidak sama, meski modal masing-masing pihak sama
adalah boleh, jika memang telah ditentukan demikian. Pembagian keuntungan tidak
hanya didasarkan atas modal, tapi juga atas masa kerja, besarnya tanggung jawab
dan lainnya.[22]
Dalam mudharabah, terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam beberapa
aspek. Tentang pembatasan masa kerjasama, menurut imam Malik, imam Syafi’i dan
imam Hambali tidak dibolehkan karena tujuan mudharabah adalah untuk mendapatkan
keuntungan. Batasan waktu akan menghilangkan tujuan tersebut. Sedang menurut
imam Hanafi, perjanjian kerjasama mudharabah boleh dilakukan dalam jangka waktu
tertentu karena pemilik modal mempunyai hak untuk menghentikan atau membatalkan
perjanjian kapan saja.
Selain itu, tentang kerugian yang disebabkan oleh pengelola imam Malik,
imam Syafi’i dan imam Hambali berpendapat bahwa kerugian itu adalah tanggung
jawab pengelola bukan pemilik modal. Sedang menurut imam Hanafi, tanggung jawab
atas kerugian ada pada pemilik modal bukan pada pengelola karena itu adalah
kelalaian pemilik modal yang menyerahkan modal tanpa memperhitungkan
kemungkinan baik buruknya.
Dalam pengelolaan usaha mudharabah, menurut imam Hanafi dan imam Syafi’i
pemilik modal boleh ikut bekerja. Kerugian dan keuntungan yang diakibatkan
adalah tanggung jawabnya sendiri. pengelola tidak ikut menanggung kerugian dan
tetap mendapat upah atas kerjanya. Sedang menurut imam Malik, pemilik modal tidak
boleh ikut bekerja karena akan mempersulit posisi pengelola.
Dalam penentuan kegiatan pengelola (manajerial usaha), imam Malik dan imam
Syafi’i berpendapat bahwa pemilik modal tidak boleh membatasi gerak kegiatan
pengelola karena pemilik modal belum tentu lebih pandai dari pengelola. Sedang
imam Hanafi dan imam Hambali berpendapat bahwa pemilik modal boleh membatasi
gerak kegiatan bisnis pengelola sebab pemilik modal pasti lebih mengerti
daripada pengelola.[23]
6. Pemikiran tentang Gadai
Dalam operasional gadai terdapat beberapa aspek esensial yang membawa cara
pandang berbeda pada kalangan ulama. Menurut Imam Malik; jaminan dengan akad (janji) saja
telah dianggap cukup, meski barang yang dijadikan jaminan tidak diserahkan pada
pihak pemberi utang. Ini untuk orang-orang tertentu yang bisa dipercaya
kata-kata dan janjinya. Sedang menurut imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali; akad
jaminan atau gadai tidak sah tanpa penyerahan barangnya. Ini untuk masyarakat
kebanyakan yang biasanya sering berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan apa
yang diucapkan. Mereka biasanya hanya mementingkan keuntungan pribadi tanpa
memperhatikan orang lain.
Tentang penguasaan kreditur atas
barang jaminan terdapat perbedaan pandangan. Menurut Imam Syafi’i;penguasaan
kreditur atas barang jaminan (gadaian) tidak termasuk syarat akad gadai. Ini
untuk orang kebanyakan yang biasanya kurang memperhatikan persoalan keadilan dan
agama. Sedang Menurut Imam Hanafi dan Malik; kreditur harus menguasai barang
yang digadaikan (barang yang dijadikan jaminan utang). Ia termasuk syarat sah
gadai. Jika barang gadai lepas dari tangannya, batal akad gadainya. Tetapi,
jika kembalinya barang kepada pemberi gadai tersebut karena persoalan utang
atau titipan, akad gadai tetap sah, tidak batal. Ini untuk orang yang
memperhatikan agama dan keadilan. Sungguh, kreditur tidak mengambil barang
kecuali sebagai jaminan atas hak-haknya. Jika barang yang digadaikan (yang
dijadikan jaminan) lepas dari tangannya berarti sama dengan tidak menerima
jaminan dan ia tidak dapat ganti rugi jika terjadi sesuatu yang tidak
diinginkan di kemudian hari. Sedemikian, sehingga penguasaan kreditur atas
barang jaminan termasuk syarat sah akad gadai.
Dalam praktek gadai, jika terjadi
satu barang dipergunakan sebagai jaminan atas dua macam utang, maka Menurut
imam Hanafi, Syafi’i dan Hambali barang gadaian tetap hanya menjadi jaminan
atas utang yang pertama, tidak termasuk utang kedua. Sedang Menurut Imam Malik;
menjadikan barang jaminan untuk dua macam utang pada orang yang sama adalah
boleh, jika pihak kreditur memang mau menerima hal tersebut. Apalagi bagi
orang-orang yang jujur dan bisa dipercaya. Mereka bahkan mau menerima meski
tanpa ada jaminan sekali pun.
Tentang pemanfaatan barang gadai,
menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik; kedua Imam tersebut sependapat bahwa
manfaat dari barang jaminan itu adalah hak yang menggadaikan (pemilik barang).
Murtahin tidak dapat mengambil manfaat daripadanya, kecuali atas izin dari
pihak yang menggadaikan. Menurut imam Hambali penerima gadai tidak dapat
mengambil manfaat dari barang gadaian apabila barang yang digadaikan itu hewan
yang tidak bisa ditunggangi dan diperah. Sedangkan apabila barang yang
digadaikan itu hewan yang dapat ditunggangi dan diperah, maka penerima gadai
dapat mengambil manfaat dengan menunggangi dan memerah susunya sesuai dengan
biaya pemeliharaan yang telah dikeluarkan. Sedang menurut Imam Hanafi manfaat
dari barang gadaian adalah hak penerima gadai, karena barang gadaian berada di
tangan dan kekuasaan penerima gadai.[24]
C. Pengaruh Pemikiran 4 Imam Mazhab tentang Ekonomi Terhadap Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Kontemporer
1. Implikasi dari Perbedaan
Konsep tentang Harta
Perbedaan konsep tentang harta dari para imam mazhab ini menimbulkan
pengaruh yang berbeda pula. Contohnya: tentang pemanfaatan seseorang terhadap
harta orang lain (ghasab), jika mengikuti pendapat jumhur fuqaha (imam
Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali) maka pemilik barang berhak menuntut ganti
rugi atas pemanfaatan tersebut. sedang menurut imam Hanafi, pemilik
tidak berhak menuntut ganti rugi karena aspek manfaat tidak termasuk dalam harta.
Contoh lain adalah tentang wakaf.
Menurut imam Hanafi kepemilikan barang yang diwakafkan tidak harus lepas
dari wakif dan dibenarkan bagi wakif untuk menariknya kembali
serta boleh menjualnya. Sedang menurut jumhur fuqaha, harta wakaf tidak lagi
menjadi milik wakif melainkan secara hukum menjadi milik Allah atau
secara terminologi sosiologis harta wakaf menjadi milik masyarakat umum dan wakif
tidak boleh menariknya kembali apalagi menjualnya.[25]
- Implikasi dari Perbedaan Konsep tentang Uang
Perbedaan pendapat di antara para
ulama tentang uang juga membawa implikasi yang berbeda. Fungsi uang adalah
sebagai Medium of Exchange (satuan alat tukar), Unit of Account (satuan
pengukur), dan Store of value (penyimpan nilai).[26]
Berdasarkan pendapat imam Hambali,
uang berkedudukan sebagai komoditi yang berfungsi untuk mengukur nilai dari
barang yang menjadi uang itu sendiri (nilai intrinsik) dan tidak dapat
disamakan dengan selainnya.
Pendapat imam Syafi’i membawa
implikasi yang lebih luas, karena selain sebagai satuan pengukur nilai uang
juga berfungsi sebagai alat tukar. Uang menurut Syafi’i dapat digunakan untuk
menilai dan menukar/membayar barang lain.
Sedang pandangan yang berbeda dari
imam Malik mempunyai implikasi yang lain pula. Uang yang berfungsi sebagai
pengukur nilai dan alat tukar tidak akan mengakibatkan riba meskipun terdapat
perbedaan berat dalam pertukaran uang sejenis. Kelebihan tersebut diakui
sebagai kedermawanan yang tidak membutuhkan kompensasi dalam jumlah tertentu.
Pandangan ini memberikan setidaknya dapat dijadikan sandaran untuk melegitimasi
praktik keuangan semisal jual beli valas (sharf).[27]
3. Implikasi dari Perbedaan
Konsep tentang Riba
Semua mazhab menyatakan bahwa
larangan riba berlaku bagi barang yang memiliki satu (sub) sebab tunggal. Imam
Hanafi dan imam Hambali melarang jual beli makanan dengan tembaga secara kredit
(keduanya ditimbang) namun membolehkan jual beli makanan dengan garam secara
kredit (salah satunya ditimbang dan yang lain ditakar). Imam Malik dan imam
Syafi’i, karena hanya memperhatikan pertukaran di antara makanan atau mata
uang, mempunyai pendapat yang bertentangan dengan Imam Hanafi dan imam Hambali.
Yang lebih kontemporer misalnya tentang minyak mentah. Menurut imam Hanafi dan
imam Hambali minyak mentah termasuk ribawi, tetapi tidak menurut Syafi’i dan
Maliki.
Masih dalam konteks riba, pandangan
para ulama fiqh ini paling tidak mempengaruhi pemikiran para pakar dalam
menetapkan dalil riba di kemudian hari di samping Al-Qur’an dan Hadits yang
sudah ada. Ibnu Rushdy dari mazhab Maliki yang condong pada pendapat Hanafi
tentang riba, kesamaan ukuran. Menurut ibnu Rushdy[28]
yang berada di balik ketentuan riba adalah tujuan untuk menjunjung tinggi keadilan
dalam pertukaran. Ini juga yang kemudian mempengaruhi pemikiran bahwa pinjama qard
tanpa bunga sah, sedang jual beli dengan penangguhan barang ribawi untuk
memperoleh barang ribawi lain dengan harga sama yang dihutang tidak sah.
Ketidakabsahan itu karena masuknya unsur ketidak setaraan dalam jual beli yang
akan memicu ketidakadilan. Sedang dalam analisis teknis fiqh, pinjaman selalu
siap dibayar, dapat diminta sewaktu-waktu, sebuah ketentuan yang menguntungkan
pemberi pinjaman dan mengurangi risiko pasarnya.
Ibn Qayyim dari mazhab Hambali juga
memaparkan bahwa dalil bagi pelarangan adalah untuk mencegah eksploitasi dari
kaum yang kuat atas kaum yang lemah, memaksa investor menanggung risiko
investasi, meminimalkan perdagangan uang dan bahan makanan, serta mengaitkan
keabsahan keuntungan dengan pengambilan risiko.[29]
4. Implikasi dari Perbedaan
Konsep tentang Jual Beli
Pada masa kini praktik jual beli
telah mengalami berbagai perkembangan dan kemajuan yang sangat pesat sesuai
dengan perubahan zaman. Perbedaan pendapat tentang keabsahan jual beli hanya
dengan serah terima barang tanpa akad dalam praktik kekinian memunculkan
implikasi yang berbeda pula. Jika menurut jumhur, maka praktik jual beli dengan
sistem swalayan seperti dilakukan di minimarket / supermarket / departement
store yang hanya dilakukan dengan melihat, memilih dan diakhiri dengan
pembayaran tanpa akad adalah tidak sah. Jika ada percekcokan antara penjual dan
pembeli di kemudian hari, hakim tidak bisa memeriksa dan menyelesaikan
persoalan itu karena tidak ada saksi atau bukti. Dalam konteks kekinian dengan
kian maraknya unsur wanprestasi dalam perjanjian jual beli kata-kata akad saja
belum memadai dan didukung bukti lain seperti kuitansi, akte dan sejenisnya
untuk memperkuat akad. Sedang jika menurut imam Malik jual beli dengan sistem
swalayan sah karena dengan adanya serah terima barang berarti sudah menunjukkan
kerelaan untuk berjual beli, jika tidak rela mereka tidak akan melakukannya.
Praktik jual beli pada masa modern
tidak lagi selalu mengikuti tradisi masa lalu yang dilakukan di suatu tempat
tertentu (pasar) antara penjual dan pembeli yang bertemu dan bertransaksi.
Kini, jual beli dilakukan tanpa harus mempertemukan penjual dan pembeli dalam
satu majelis. Jual beli dapat dilakukan melalui telepon, internet, dan berbagai
sarana komunikasi/perhubungan lainnya. Jika mengikuti pendapat imam Syafi’i,
praktik jual beli tersebut tidak sah karena tidak berada dalam satu majelis dan
barangnya pun tidak ada di tempat akad. Namun jika menurut jumhur, praktik
tersebut sah dan diikuti oleh hak khiyar bagi pembeli untuk membatalkan
atau meneruskan akad saat barang dilihatnya.[30]
5. Implikasi dari Perbedaan
Konsep tentang Kerjasama Usaha (Kemitraan)
Dalam aktivitas ekonomi terutama
bidang keuangan dan perbankan konsep kerjasama usaha (kemitraan) ini akan
selalu ada. Dalam praktik pembiayaan musyarakah di bank Syariah dua pendapat
berbeda ini sama-sama memberikan kontribusi yang berpengaruh terhadap kebijakan
penetapan nisbah bagi hasil dan risiko kerugian antara pihak bank dan nasabah.
Jika menurut pendapat imam Hanafi, pembagian keuntungan yang berbeda
dibolehkan. Ini diterapkan dalam pembagian keuntungan secara unproporsional
sesuai kesepakatan. Jadi dapat terjadi antar pihak yang bekerjasama menperoleh
alokasi keuntungan yang tidak sama. Menurut pendapat imam Malik dan imam
Syafi’i keuntungan harus dibagi sama karena modal usaha pihak-pihak yang
bekerjasama sudah menyatu dan tidak terpisah lagi. Namun jika dianalisis lebih
lanjut, mekanisme pembagian keuntungan usaha dalah musyarakah lebih cenderung
mengikuti pendapat imam Hanafi, yaitu boleh berbeda sesuai dengan kontribusi
(modal atau tenaga) yang diberikan.[31]
Dalam praktik mudharabah, teknis
yang diterapkan diperbankan Syariah untuk penetapan jangka waktu kerjasama
mengikuti pendapat imam Hanafi yakni kerjasama tersebut harus ditentukan batas
waktunya dan bukan unlimited time agreement.
Dalam hal penanggungan risiko
kerugian yang disebabkan kesalahan pengelola, ketetapan bank mengikuti pendapat
imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali yaitu menjadi tanggung jawab
pengelola bukan pemilik dana.
Teknis lain di bank Syariah tentang
keikut sertaan pemilik dana dalam operasional usaha. Dalam mudharabah pemilik
dana tidak turut dalam pengelolaan usaha. Pengelolaan sepenuhnya dilakukan
pengelola dana. Ini merupakan implikasi dari pendapat imam Malik.
Mudharabah dibagi menjadi dua, yaitu
mudharabah mutlaqah (jenis usaha/kegiatan pengelolaan dana tidak
dibatasi/ditentukan oleh pemilik dana). Ini menurut pendapat imam Malik dan
imam Syafi’i. Selain itu, ada mudharabah muqayyadah di mana pemilik dana boleh
menetapkan jenis usaha/kegiatan pengelola (managerial). Ini sejalan dengan
pendapat imam Hanafi dan imam Hambali. Kedua pendapat ini mempunyai implikasi
yang sama terhadap kebijakan mudharabah di bank Syariah karena kedua jenis
mudharabah tersebut dipraktikkan.[32]
6. Implikasi dari Perbedaan
Konsep tentang Gadai
Gadai mempunyai dua nilai akad yang
berjalan beriringan. Di satu sisi, rahn merupakan akad yang bersifat derma
sebab apa yang diberikan penggadai kepada penerima gadai tidak ditukar dengan
sesuatu. Yang diberikan penerima gadai kepada penggadai adalah utang, bukan
penukar atas barang yang digadaikan. Di sisi lain, dapat dimengerti bahwa akad
ini juga bersifat komersial. Pihak yang berakad tidak boleh saling merugikan.
Kebolehan memanfaatkan barang jaminan meski dengan syarat tertentu juga
mengisyaratkan adanya unsur tersebut dalam akad ini. Dikenakan biaya jasa untuk
prosedur gadai di pegadaian juga menunjukkan indikasi komersialnya akad ini.
Pengenaan biaya jasa ini kemudian tidak menjadikan praktek ini berbeda dengan
praktek pinjam meminjam uang di bank.[33]
Secara umum praktik gadai tidak
terpengaruh oleh perbedaan pendapat para ulama. Yang menjadi esensi implikasi
pendapat para ulama fiqh ini terhadap praktik gadai kontemporer adalah mengenai
penguasaan dan pemanfaatan barang gadai. Yang umum dipraktikkan di Indonesia
adalah barang gadai (yang menjadi jaminan) dikuasai oleh kreditur mengikuti
pendapat imam Hanafi dan imam Malik. Yang berbeda dalam praktiknya adalah
tentang pemanfaatan barang gadai. Umumnya, yang dipraktikkan adalah pihak
penerima gadai selalu memanfaatkan barang gadai yang dikuasainya. Ini mengikuti
pendapat imam Hanafi.
Implikasi pendapat para imam fiqh
ini banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat, di mana praktik
gadai bukanlah sesuatu yang tabu. Aktivitas gadai dilakukan dalam hubungan
orang perorang dan kelembagaan. Yang sedikit membedakan adalah dari sisi
pemanfaatan barang gadai, di pegadaian barang gadai yang dikuasai tidak
dimanfaatkan dan hanya disimpan sampai ditebus kembali oleh yang menggadaikan.
Ini mengikuti pendapat imam Malik, imam Syafi’i dan imam Hambali.
D. Kesimpulan
Pendapat yang berbeda dari 4 imam
mazhab tentang konsep ekonomi didasari oleh pemikiran, sudut pandang dan adat
kebiasaan yang berbeda pada saat mereka mengeluarkan fatwa.
Perbedaan dan pengaruh konsep
ekonomi keempat imam mazhab yang dikemukakan di atas merupakan konsep (yang
menurut penulis) utama dalam term ekonomi Islam, di samping masih banyak kajian
dan konsep mereka dalam ranah fiqh muamalah. Keenam konsep tersebut adalah
konsep tentang harta, uang, riba, jual beli, kerjasama usaha (kemitraan) dan
gadai.
[3]Sebagaimana dikemukakan oleh Ali
Zainal Adzim dalam “Imam Hanafi (Nashiru al-Ra’yi)”, http://bindharashout.blogspot.com/2008/10/imam-hanafi.html
[11]http://www.belajarislam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=110%3Abiografi-imam-syafii&Itemid=96
[18]Abdullah al-Mushlih, Salah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, terj.
Abu Umar Basyir, Darul Haq, Jakarta, 2004, hlmn. 90
[28]Lihat dalam Ibnu Rusyd, Bidayatu’l Mujtahid, terj. M.A. Abdurrahman,
A. Haris Abdullah, Asy-Syifa, Smarang, 1990, hlmn. 9 et Esq.
[29]Frank E. Vogel, Samuel L. Hayes, III, Hukum Keuangan Islam Konsep, Teori
dan Praktik, Terj. M. Sobirin Asnawi, et.al., Nusa Media, Bandung, 2007,
hlmn. 96 et seqq
[31]M. Safi’I Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik, Gema Insani
Press, Jakarta, 2001, hlmn. 90 et Esq.
[33]M. Ali Hasan, Masail Fiqh Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hal. 86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar